Khotbah pada Minggu 1 Adven disampaikan di GKI Halimun Jakarta, Minggu, 3 Desember 2023 dari bacaan Alkitab: Yesaya 64:1-9; Mazmur 80:1-7, 17-19; 1 Korintus 1:3-9; Markus 13:24-37 Adven atau lengkapnya Adventus adalah bahasa latin. Artinya kedatangan. Kita merayakan adven, kedatangan. Kedatangan Tuhan Yesus kembali pada akhir zaman. Nanti akan tiba saatnya, Tuhan Yesus akan memeriksa keseriusan hidup kita yang sudah diselamatkan dari cengkeraman kuasa dosa. Tuhan Yesus akan memimpin dunia ini dengan menghadirkan Langit yang baru dan Bumi yang baru . Yerusalem baru . Dunia di mana kuasa-kuasa dunia yang jahat, yang dilambangkan seperti benda-benda langit akan kalah dengan kuasa kebaikan Kristus. Maka pesan penting dari minggu-minggu adven adalah, kalau diungkapkan dengan pertanyaan untuk diri sendiri:“ "Apakah aku serius dengan imanku?”" Apakah aku serius ikut Tuhan Yesus?” “Apakah hidupku mau dibuat menjadi baru karena kuasa Roh Kudus sesuai kehendak kas...
Awalnya saya kaget dengan ucapan Yesus ini. "Jangan menangis!" kata-Nya di sini Lukas 7:11-17.
Memang apa yang salah dengan menangis? Bukankah kesedihan adalah kewajaran dalam hidup? Tidakkah ibu itu berhak menangisi anak lelaki satu-satunya yang kini tak bernafas lagi? Bukankah kini ia harus menjalani hidup sendirian tanpa ada lagi sokongan dari keluarga terdekatnya? Ada apa ini? Apakah Yesus tidak punya perasaan belasungkawa barang sedikitpun?
Tetapi hemat saya, tidak ada yang salah dengan tangisan ibu itu. Lihatlah bahwa kesedihan yang ditunjukkan dengan curahan air mata menunjukkan betapa ia sungguh menyayangi anaknya. Juga tidak ada yang salah dengan kata-kata Yesus. Sebab jika dicermati, ungkapan Yesus yang kelihatannya tidak berperasaan itu diawali oleh sebuah sikap belas kasihan! Rupanya Yesus memahami situasi si ibu. Yesus jauh dari tindakan semena-mena di sini. Segala kegelisahan dan kegetiran hidup dimaklumi-Nya. Tetapi jika si ibu berhenti pada tangisan dan ratapan, maka ia sedang membangun "sebuah tembok ratapan yang tinggi" yang akan membuatnya tidak mampu lagi merayakan hidup dengan pengharapan. Ini yang tidak diinginkan Yesus.
Oleh sebab itu bagi saya, "jangan menangis" bukanlah semata-mata ajakan Yesus untuk menghentikan air mata saja. Tetapi Yesus sedang mengajak si ibu untuk tidak cepat-cepat mengambil kesimpulan "satu macam, tok" dalam pikiran dan perasaan di tengah situasi duka yang dialaminya. Dalam rencana dan kehendak Bapa-Nya, ternyata masih ada banyak peristiwa hidup yang cerah menanti di depan mata, ketimbang melulu meratap apalagi berasumsi yang tidak-tidak. Untuk si ibu, Allah melalui karya Anak-Nya telah berkehendak. Ternyata adalah baik dalam pandangan-Nya supaya anak lelaki itu tetap hidup mendampingi ibunya!
Intervensi ilahi pada arak-arakan dukacita ini mengarahkan saya kepada sebuah kesadaran untuk menyimak anugerah Allah yang diberikan-Nya dalam bentuk kesempatan-kesempatan yang baru di tengah keterpurukan hidup yang paling kelam sekalipun. Kesempatan yang acap kali melampaui pikiran dan perasaan pada umumnya.
Allah di dalam Kristus ternyata mengenali sumber utama kesedihan si ibu dan menyikapinya dengan cara-Nya yang mendamaikan. Tidakkah Dia pun mengenali sumber kesedihan kita dan akan menyikapinya dengan cara-Nya pada waktu-Nya?
Memang apa yang salah dengan menangis? Bukankah kesedihan adalah kewajaran dalam hidup? Tidakkah ibu itu berhak menangisi anak lelaki satu-satunya yang kini tak bernafas lagi? Bukankah kini ia harus menjalani hidup sendirian tanpa ada lagi sokongan dari keluarga terdekatnya? Ada apa ini? Apakah Yesus tidak punya perasaan belasungkawa barang sedikitpun?
Tetapi hemat saya, tidak ada yang salah dengan tangisan ibu itu. Lihatlah bahwa kesedihan yang ditunjukkan dengan curahan air mata menunjukkan betapa ia sungguh menyayangi anaknya. Juga tidak ada yang salah dengan kata-kata Yesus. Sebab jika dicermati, ungkapan Yesus yang kelihatannya tidak berperasaan itu diawali oleh sebuah sikap belas kasihan! Rupanya Yesus memahami situasi si ibu. Yesus jauh dari tindakan semena-mena di sini. Segala kegelisahan dan kegetiran hidup dimaklumi-Nya. Tetapi jika si ibu berhenti pada tangisan dan ratapan, maka ia sedang membangun "sebuah tembok ratapan yang tinggi" yang akan membuatnya tidak mampu lagi merayakan hidup dengan pengharapan. Ini yang tidak diinginkan Yesus.
Oleh sebab itu bagi saya, "jangan menangis" bukanlah semata-mata ajakan Yesus untuk menghentikan air mata saja. Tetapi Yesus sedang mengajak si ibu untuk tidak cepat-cepat mengambil kesimpulan "satu macam, tok" dalam pikiran dan perasaan di tengah situasi duka yang dialaminya. Dalam rencana dan kehendak Bapa-Nya, ternyata masih ada banyak peristiwa hidup yang cerah menanti di depan mata, ketimbang melulu meratap apalagi berasumsi yang tidak-tidak. Untuk si ibu, Allah melalui karya Anak-Nya telah berkehendak. Ternyata adalah baik dalam pandangan-Nya supaya anak lelaki itu tetap hidup mendampingi ibunya!
Intervensi ilahi pada arak-arakan dukacita ini mengarahkan saya kepada sebuah kesadaran untuk menyimak anugerah Allah yang diberikan-Nya dalam bentuk kesempatan-kesempatan yang baru di tengah keterpurukan hidup yang paling kelam sekalipun. Kesempatan yang acap kali melampaui pikiran dan perasaan pada umumnya.
Allah di dalam Kristus ternyata mengenali sumber utama kesedihan si ibu dan menyikapinya dengan cara-Nya yang mendamaikan. Tidakkah Dia pun mengenali sumber kesedihan kita dan akan menyikapinya dengan cara-Nya pada waktu-Nya?
Komentar
Posting Komentar